Pharmanews
Menelusuri Fakta Dibalik Fatwa Haram Rokok : Tinjauan Seorang Farmasis
Berita dan issue mengenai rokok tidak pernah ada habisnya dan selalu menarik untuk dikritisi. Tetapi karena berkaitan dengan banyak pihak berita demi berita timbul tenggelam seperti gelombang di lautan. Bahaya adiktif nikotin pada rokok kemudian tenggelam setelah dihadang dengan inovasi penggunaan filter pada rokok. Berita mengenai kandungan senyawa kimia karsinogenik dan teratogenik pada asap rokok berujung pada instruksi pemerintah untuk menuliskan peringatan mengenai bahaya merokok pada kemasan rokok. Keputusan pemerintah ini membawa dampak pada penurunan produksi rokok secara signifikan. Akan tetapi seiring dengan meredanya berita tersebut, angka penjualan rokok kembali merangkak naik dengan strategi jitu dari produsen rokok.
Masyarakat kembali disentak dengan dikeluarkannya fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 6/SM/MTT/2010 tentang hukum merokok. Fatwa tersebut merupakan hasil revisi dari fatwa sebelumnya yang diterbitkan tahun 2005 yang menyatakan hukum makruh untuk merokok. Ketika berita mengenai fatwa haram tersebut masih menuai pro dan kontra muncul fakta baru yang sangat menghebohkan, yakni adanya temuan penggunaan hemoglobin babi sebagai bahan pembuat filter rokok. Bahkan peneliti dari Itali pada tahun 2007 juga telah melakukan penelitian terhadap filter rokok di pasaran yang mengandung DNA. Fakta-fakta tersebut kembali menggugah kita untuk sekali lagi melakukan analisis secara komprehensif mengenai rokok mulai dari bahan baku, efek, bahan hasil pembakaran, dan bahan-bahan tambahan yang dipergunakan dalam produksi rokok, misalnya bahan penyusun filter.
Rokok merupakan produk tembakau yang menjadi komoditi besar di seluruh belahan dunia. Hasil survey The World Health Organization (WHO) memperkirakan ada lebih dari 1 (satu) miliar perokok di seluruh dunia. Sementara itu merokok menjadi penyebab 5,4 juta kematian setiap tahunnya, dengan arti lain ada 1 (satu) kematian akibat merokok tiap 5,8 detik. Di Indonesia, yang merupakan negara dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa tercatat lebih dari 55% lelaki dan 4 % perempuan perokok. Propaganda bahaya merokok dan semakin tingginya kesadaran mengenai kesehatan, yang ditunjang dengan intervensi peraturan pemerintah menyebabkan adanya tren penurunan jumlah perokok yang sangat signifikan di negara-negara maju. Di Amerika Serikat tercatat ada penurunan 50% jumlah perokok, yaitu dari 42% perokok menjadi 20,8% dalam kurun waktu 11 tahun (1995-2006). Sementara itu, dan negara-negara sedang berkembang, termasuk di dalamnya Indonesia justru mengalami laju peningkatan pada jumlah perokok sebanyak 3,4% per tahun.
Indonesia merupakan salah satu produsen tembakau besar sekaligus menjadi penghasil rokok besar di dunia. Pada perkembangannya, rokok kretek merupakan rokok dengan aroma cengkeh merupakan komoditi rokok khas Indonesia yang sangat terkenal di seluruh dunia. Untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan seiring dengan kemajuan teknologi, rokok kretek Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam hal resep ramuan, kemasan, diserta propaganda yang gencar sehingga menenggelamkan fakta mengenai bahaya rokok bagi kesehatan.
Sebanyak 98% pemanfaatan tembakau digunakan untuk pembuatan rokok. Tembakau sebagai bahan utama rokok telah diketahui mengandung nikotin, suatu senyawa yang mempunyai efek signifikan pada sistem fisiologi tubuh manusia. Seorang perokok terpapar 1-2 mg nikotin per batang rokok yang diisapnya. Ketika merokok, nikotin akan segera masuk ke dalam tubuh dan dengan cepat mencapai level puncaknya di dalam darah, selanjutnya memasuki otak. Bahkan pada penggunaan produk tembakau lainnya dengan cara dikunyah, nikotin dapat diabsorbsi melalui membran mukosa, dan langsung masuk dalam aliran darah.
Di dalam tubuh, nikotin berikatan dengan reseptor kolinergik (nicotinic Achetilcholine Receptor/nAchR) dan dopaminergik pada sistem saraf pusat.sebagai agonis kompetitif dari asetilkolin dan dopamin endogen. Ikatan nikotin dengan reseptornya menyebabkan peningkatan pelepasan adrenalin dan dopamin, yang menyebabkan perangsangan sel saraf, peningkatan denyut jantung, dan tekanan darah arteri. Pada perokok, terjadi paparan nikotin secara terus menerus sehingga menyebabkan desensitisasi reseptor dalam waktu cepat, yang membawa konsekuensi pada peningkatan kebutuhan tubuh terhadap senyawa ini. Hal ini merupakan fenomena adiksi nikotin, yang menyebabkan efek ketergantungan pada perokok. Nikotin dengan efek adiksinya inilah yang menyebabkan efek ketergantungan bagi perokok, sekaligus menjadi penjelasan ilmiah mengapa orang-orang sulit sekali menghentikan kebiasaan merokok. Hasil penelitian menyebutkan penanganan ketergantungan terhadap nikotin jauh lebih sulit dibandingkan dengan ketergantungan terhadap heroin dan kokain.
Berbagai penelitian menyebutkan bukan hanya nikotin dengan efek adiksinya saja yang berbahaya bagi kesehatan, namun juga senyawa yang dihasilkan dari pembakaran rokok. Ditengarai lebih dari 4000 senyawa dihasilkan dari pembakaran tersebut, dan telah diketahui ada sebanyak 69 senyawa karsinogenik (pencetus kanker). Sebut saja senyawa golongan polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) salah satunya benzo(a)piren, kemudian golongan azaarene, nitrosamina, senyawa amina aromatik, senyawa amina aromatik heterosiklik, dan senyawa organik maupun anorganik lain termasuk logam seperti timbal (Pb), Nikel (Ni), dan Kromium (Cr) adalah senyawa yang teridentifikasi sebagai hasil pembakaran rokok.
Penyakit yang ditimbulkan oleh senyawa dalam rokok dan asap rokok adalah yang terkait dengan jantung dan paru-paru. Perokok mempunyai faktor resiko yang tinggi mendapat serangan jantung, stroke, chronic obstructive pulmonary disease atau penyakit paru-paru obstruksi kronis, gangguan kehamilan dan janin, serta kanker (kanker paru-paru, rongga mulut, dan pankreas). Terkait dengan kanker, senyawa-senyawa karsinogen dalam rokok dan asap rokok tersebut telah diketahui dapat menyebabkan kerusakan DNA melalui pembentukan ikatan langsung dan mutasi permanen pada beberapa gen-gen regulator pembelahan sel. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa senyawa dalam rokok dan asap rokok tersebut dapat mempengaruhi enzim-enzim yang berperan dalam sistem metabolisme senyawa asing dalam tubuh, yang menginisiasi senyawa tersebut menjadi inisiator kanker
Upaya untuk mengurangi kadar nikotin dan senyawa hasil pembakaran yang sangat membahayakan kesehatan, menjadi awal ide penggunaan filter pada rokok. Filter rokok diklaim dapat menurunkan kadar nikotin. Penggunaan filter pada rokok dipropagandakan sebagai inovasi low nicotine cigarrete yang lebih aman bagi kesehatan perokok. Propaganda yang kemudian dilanjutkan dengan serangan iklan ini sangat nyata hasilnya, terbukti dari data hasil penjualan produk berlabel mild dari beberapa produsen rokok yang menukik tajam. Masyarakat perokok dibuat lupa akan bahaya rokok yang sebenarnya.
Kembali pada bahasan filter pada rokok dengan tujuan menurunkan kadar nikotin demi kesehatan perokok. Telah disebutkan di atas bahwa bagian penting yang terlupakan adalah efek adiksi nikotin bagi perokok. Pada analisis tunggal dari sebatang rokok kretek dengan kadar nikotin tinggi dan rokok filter dengan kadar yang rendah jelas menghasilkan efek perangsangan yang berbeda pada sel saraf. Yang pertama jelas efek yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan dengan yang kedua. Tetapi efek adiksi adalah efek adaptasi yang komulatif. Seorang perokok filter dengan berjalannya waktu akan membutuhkan jumlah batang rokok yang semakin banyak dari hari ke hari, sebagai dampak dari efek adiksi nikotin. Semakin banyak batang rokok yang dihisap oleh perokok berbanding lurus dengan jumlah asap rokok yang masuk ke dalam paru-parunya, dan bahkan jauh lebih banyak dibanding mereka dengan rokok kreteknya. Pada titik titik tersebut issue kesehatan perokok dibalik filter menjadi tidak ada artinya dengan kata lain hanya pepesan kosong saja.
Inovasi filter pada rokok terus dikembangkan guna mengurangi efek toksik rokok. Filter pada rokok ditujukan untuk menyaring dan mengikat senyawa-senyawa hasil pembakaran rokok agar tidak masuk ke tubuh perokok. Lebih dari 60 jenis filter telah diperkenalkan dalam 25 tahun terakhir. Pada tahun 1997 sebuah perusahaan tembakau Yunani memperkenalkan biofilter yang terbuat dari karbon aktif dijenuhi dengan hemoglobin kering. Perusahaan tersebut mengklaim bahwa biofilter dapat mengurangi risiko merokok. namun rokok dengan filter biologis memproduksi tar serta radikal bebas dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan rokok tanpa filter. Perkembangan selanjutnya adalah penambahan bioflavonoid dari ekstrak kulit pinus pada filter rokok oleh Zhang dkk. pada tahun 2002. Hal ini dilakukan untuk menekan jumlah radikal bebas serta menutunkan toksisitas asap rokok, namun Zhang tidak melaporkan data nikotin setelah filtrasi. Penelitian terbaru dari Lodovici tahun 2007 menyebutkan bahwa filter yang mengandung DNA tidak memodifikasi transport nikotin ke dalam tubuh, namun terbukti mampu menangkap karsinogen golongan PAH.
Selain karsinogen golongan PAH, salah satu senyawa yang dapat diikat adalah karbon monooksida (CO). Karbon monooksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa serta sangat beracun karena punya afinitas atau kemampuan sangat kuat pada haemoglobin, suatu transporter oksigen dalam darah. Karbon monooksida mempunyai afinitas terhadap hemoglobin 230-270 kali lebih besar dibandingkan oksigen. Pada konsentrasi 100 ppm atau lebih tinggi, gas ini beracun karena dapat mengikat hemoglobin darah, akibatnya darah tidak dapat mengikat oksigen, sehingga orang akan mengalami kondisi kekurangan oksigen.
Selain hemoglobin, filter rokok juga mengandung gliserin. Gliserin dalam filter berfungsi sebagai bahan untuk menjaga kelembaban filter rokok, sehingga filter yang terbentuk bertekstur kenyal dan bagus serta tidak mudah patah. Gliserin dapat diperoleh dari babi. Hasil penelitian Christien Meindertsma selama 3 tahun menemukan bahwa salah satu produk akhir dari pengolahan babi adalah gliserin dan hemoglobin. Bahkan dari hasil investigasinya ditemukan penggunaan hemoglobin babi pada filter rokok. Oleh karena itu sebagai umat muslim kita harus waspada terhadap penggunaan bahan-bahan yang berasal dari babi.
Hemoglobin dan gliserin ini berasal dari babi, karena jumlahnya yang melimpah serta mudah diperoleh dan harganya murah. China merupakan salah satu produsen babi terbesar di dunia. Peternakan babi tersebar luas di daratan China. Industrinya pun terus berkembang seiring peningkatan pangsa pasar. Dengan adanya industrialisasi yang berkembang pesat, China mampu menyediakan kebutuhan gelatin dengan harga yang murah.
Sebenarnya hemoglobin maupun gliserin dapat diperoleh dari organisme lain seperti sapi. Akan tetapi harga hemoglobin sapi lebih mahal dibandingkan hemoglobin babi. Hemoglobin sapi dan babi sendiri hanya memiliki perbedaan pada beberapa asam amino penyusunnya saja. Hal ini membuat deteksi babi menjadi rumit dan memerlukan sentuhan teknologi tinggi. Identifikasi kandungan babi dalam bahan makanan maupun rokok dapat dilakukan dengan ELISA dan polymerase chain reaction (PCR) yang didahului dengan ekstraksi DNA dari sampel yang akan digunakan. Selain itu, identifikasi kandungan babi juga dapat ditempuh dengan Fourier Tansform Infra Red (FTIR) spectroscopy dan electronic nose. Namun, sekali lagi teknologi yang digunakan memerlukan teknologi tinggi, peralatan canggih dan sumber daya manusia yang handal.
Selama ini kebijakan pemerintah tentang tembakau dihadapkan pada dilema. Di satu sisi pemerintah mempertimbangkan nasib petani tembakau yang tersebar di berbagai wilayah di tanah air. Namun di sisi lain ada dampak kesehatan yang sudah mendunia bahkan sudah ada konvensi internasional mengenai pengendalian dampak buruk tembakau yaitu dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Terlebih lagi data dari departemen pertanian menunjukkan bahwa ada kecenderungan penurunan produksi tembakau di Indonesia dari tahun ke tahun yang bertolak belakang dengan produksi rokok yang jumlahnya terus meningkat. Untuk memenuhi permintaan ini produsen rokok harus mengimpornya dari luar. Data tahun 2001-2005 menunjukkan bahwa devisa negara terbuang sebanyak US$ 37 juta hanya untuk mengimpor tembakau.
Kajian di atas menunjukkan bahwa pada rokok lebih banyak aspek yang merugikan dibandingkan aspek manfaatnya. Terlebih lagi mengenai penggunaan bahan-bahan dalam filter seperti hemoglobin, DNA dan gliserin yang belum dapat dipastikan sumbernya. Oleh karena itu perlu perhatian pemerintah mengenai masalah ini karena berkaitan dengan kemaslahatan umat.
Semoga Bermanfaat
Yogyakarta 2011
tulisan ini merupakan hasil kolaborasi dengan Dr. Nunuk Aries Nurulita, Staf Pengajar Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto